Rabu, 18 Mei 2011

Isu Demokrasi Pascaperang Irak-AS

PADA tahun 1918, Perdana Menteri (PM) Inggris Lord George mengumumkan tekad Inggris bersama Perancis membuat peta baru dunia Arab pasca terbebasnya dari otoritas dinasti Ottoman.

Kini Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush juga menegaskan akan membuat peta baru di Timur Tengah setelah bebasnya Irak dari kungkungan kekuasaan Saddam Hussein. Sejumlah pengamat Timur Tengah menyamakan ambisi AS saat ini dengan ambisi Inggris pada abad lalu. Sebuah ambisi mengusung hegemoni dan pemaksaan nilai-nilai terhadap rakyat kawasan tertentu. Setelah berakhirnya perang Dunia I tahun 1918, Inggris memang berhasil menguasai Mesir setelah meredam revolusi Mesir tahun 1919 dan mengasingkan pemimpinnya Saad Zaglul.Lalu membentuk pemerintah protektorat di Palestina, dan mendirikan negara republik Irak pasca berakhirnya revolusi Irak tahun 1920.

Sementara Perancis berhasil menguasai Suriah dan Lebanon setelah mengusir Emir Faisal Bin Hussein dan pemimpin revolusi Suriah lainnya. Kekuasaan Inggris dan Perancis di dunia Arab saat itu jelas merupakan bentuk kolonialisme yang sama sekali tidak memberi peluang bagi lahirnya kekuatan kemerdekaan atau revolusi rakyat. Presiden AS George W Bush kini kembali menyatakan, ingin membantu rakyat kawasan Arab menciptakan sistem sosial dan politik baru yang mengarah pada tegaknya demokrasi.

Namun, niat Presiden Bush itu mengundang skeptis dari banyak pihak, dan sebaliknya mereka menuduh AS sebenarnya hanya semata ingin menguasai sumber minyak dan air di kawasan Timur Tengah serta memperkuat keamanan Israel melalui sistem hegemoni AS-Israel kelak. Karena itu, diyakini oleh sejumlah pengamat di Timur Tengah, hegemoni AS-Israel di kawasan itu hanya memperburuk keadaan, bukan malah menciptakan demokrasi seperti yang diimpikan Presiden Bush.

Prediksi pesimistik tersebut berdasarkan pada realita politik di Timur Tengah selama setengah abad terakhir ini, yaitu pertama berdirinya negara Israel pada tahun 1948, telah memicu terjadinya kudeta militer di banyak negara Arab dan pada gilirannya muncul pemerintah-pemerintah diktator militer Arab yang bisa bertahan berkat dalih menghadapi Israel. Kedua, munculnya Israel sebagai kekuatan adidaya regional akan menyebabkan ambruknya sistem Arab yang efektif dan dinamis, serta akan menguatnya aliran konservatifisme di dunia Arab yang kontra perubahan dan pembaruan.

Ketiga, Israel sejak berdirinya tahun 1948, telah membangun kekuatan militer, ekonomi, dan intelijen yang beraliansi dengan kekuatan kolonial (beraliansi dengan Inggris dan Perancis pada perang Suez tahun 1956) dan beraliansi dengan AS pascaperang Arab-Israel tahun 1967. Hal itu menyebabkan Israel terus dipandang sebagai bagian dari kolonial dan sulit diterima kehadiranya di Timur Tengah.

Keempat, Israel menolak terus-menerus menyelesaikan problem Palestina secara adil dan terus melaksanakan proyek pembangunan permukiman Yahudi di tanah Palestina, serta mengandalkan pada kekuatan militer, perang dan hegemoni untuk mewujudkan keamanannya yang menyebabkan terjadinya krisis di dunia Arab.

DALAM konteks serangan AS ke Irak, apakah mungkin ada perubahan di dunia Arab pascaserangan itu? Ada dua skenario menyangkut pola perubahan di dunia Arab pasca serangan AS tersebut. Pertama, Irak kalah total. Kekalahan Irak itu akan mengantarkan AS menguasai Irak dan menduduki ladang-ladang minyak dan sumber air di negeri itu, serta membubarkan sistem pemerintahan Irak sekarang.

AS kemungkinan akan mengepung dan menekan negara-negara kontra AS di Timur Tengah yang pada akhirnya mereka menyerah pada hegemoni AS dan Israel. Kedua, berakhirnya intifada dan berdirinya negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang berada dibawah pengaruh Israel secara politik, ekonomi, dan militer.

Skenario kedua adalah gagalnya serangan AS ke Irak untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein dan terus berkobarnya intifadah Palestina. Dampak dari gagalnya serangan militer AS adalah gagal berdirinya negara Palestina yang sesuai dengan skenario AS dan Israel, serta gagal pula proyek AS menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan kepentingan barat.

Seorang pakar dari kajian politik dan strategis Al Ahram Mesir, Dr Muhammad Qodri Said mengatakan, secara strategis serangan AS ke Irak bukan hanya melucuti senjata pemusnah massal, tetapi ingin menancapkan sistem dan nilai serta rancangan peta yang sesuai dengan kepentingan yang diinginkan di masa mendatang di Timur Tengah.

Seorang pengamat senior Timur Tengah asal Inggris Patrick Seal juga mengatakan, tujuan serangan AS ke Irak buka hanya semata mendongkel Saddam Hussein tetapi jauh lebih besar dari itu, yakni terkait dengan kerangka strategi baru AS di dikawasan Timur Tengah. Menurut dia, Washington kini ingin memaksakan nilai-nilai AS untuk diterapkan di dunia Arab, seperti halnya dilakukan Inggris pada abad lalu dengan menguasai kawasan Arab Teluk dan menduduki Mesir pada tahun 1882 serta kemudian menguasai Irak, Yordania, dan Palestina.

Akan tetapi, proyek AS dengan menciptakan peta baru di Timur Tengah yang ditandai oleh bersemainya nilai-nilai demokrasi, masih diragukan bisa diterima di kawasan itu. Faktor Israel yang akan membonceng di belakang proyek AS tersebut, bisa menjadi kendala bergulirnya proyek AS itu.

ANALIS politik Arab, Ahmad Abbas Saleh menegaskan, serangan AS ke Irak bisa saja akan mengembuskan perubahan di dunia Arab yang lebih sesuai dengan kepentingan AS. Menurut Saleh, secara umum kepentingan AS sesungguhnya tidak mengalami banyak pertentangan dengan kepentingan negara-negara Arab, kecuali sejumlah negara Arab, seperti Suriah, Libya, dan Irak. AS memiliki hubungan tradisional sangat erat dengan negara-negara Arab Teluk kaya minyak (Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan Bahrain).

Mesir sebagai salah satu negara Arab terpenting telah masuk siklus politik AS setelah kesepakatan damai Camp David dengan Israel tahun 1979. Sedang nilai-nilai kehidupan AS itu sendiri secara umum cukup mempesona bangsa Arab, khususnya setelah ambruknya imperium Uni Soviet dan kubu komunisme pada awal tahun 1990-an. Namun, Saleh juga mengakui, hanya faktor Israel yang masih menjadi kendala hubungan AS dan dunia Arab selama ini.

Titik lemah rezim-rezim Arab adalah tiadanya tradisi demokrasi dalam tatanan politiknya yang menjadi pijakan legitimasi mereka. Akan tetapi, seorang cendekiawan Arab terkemuka, Hasyim Saleh menegaskan, jika harus ada perubahan di dunia Arab harus datang dari dalam sendiri, bukan pesanan sponsor dari kekuatan asing. Menu- rut dia, apa yang dicapai dunia barat tentang kebangkitan dan kejayaan selama 200 tahun, tidak mungkin dicapai dunia Arab hanya dalam beberapa tahun, tetapi butuh proses panjang.

“Biarkan rakyat kawasan ini menentukan sendiri sistem kehidupannya, dan hendaknya kita mengikuti nasihat Perancis dan Jerman agar masalah Irak diselesaikan secara damai. Rakyat Arab sendiri yang pada akhirnya harus menciptakan demokrasi bukan pasukan AS,” ungkapnya. Ia lalu memperingatkan Presiden Bush yang mengumandangkan perang untuk pembebasan rakyat Irak, bahwa kebebasan tidak dapat dipilah-pilah, di mana tidak mungkin kebebasan hanya dituntut di Irak tetapi tidak ada di Palestina.

“Isu Palestina pada akhirnya akan menentukan berhasil atau tidak strategi AS di Timur Tengah,” katanya lagi. Isu demokrasi juga menjadi persoalan pelik di kawasan negara Arab Teluk kaya minyak. Dalam konteks ini, negara-negara Arab Teluk akan menghadapi situasi dilematis, bukan hanya lantaran sifat konservatif yang melekat pada masyarakat Arab Teluk, tetapi jugadisebabkan besarnya kepentingan asing khususnya AS, di negara-negara Arab Teluk itu.

Kekuatan asing/barat di satu pihak sebenarnya ingin status quo di negara-negara Arab Teluk yang telah menjamin kepentingan mereka selama ini. Sedang elite masyarakat Teluk menginginkan perubahan ke arah yang lebih demokratis di pihak lain.

AS kemungkinan besar akan mensosialisasikan pola pemerintahan baru di Baghdad ke negara Arab lain. Kredibilitas AS di sini dipertaruhkan, apakah Washington akan bermuka dua yakni tidak tahu menahu realita politik di negara-negara Arab Teluk karena sudah menjamin terjaganya kepentingan AS dan para penguasa negara Arab Teluk itu sudah masuk payung politik AS. Sementara Washington terus menekan belahan dunia Arab lainnya agar bersedia mengadopsi program AS di Timur Tengah.

Negara-negara Arab Teluk tersebut kini tinggal melakukan sinkronisasi proses demokrasi yang telah dicapai dengan realita politik baru pascaperang AS-Irak nanti, sehingga bisa terlepas dari tali dilematis baik yang dialami Pemerintah AS maupun negara Arab Teluk itu. Investasi demokrasi itu sudah dimiliki negara-negara Arab Teluk selama ini.

Misalnya, sebelum Almarhum Emir Bahrain Sheikh Isa Bin Salman Al Khalifah membentuk Dewan Syura pada tahun 1992, sejumlah cendekiawan Bahrain telah meminta Emir Bahrain itu agar mengembalikan sistem parlemen yang dibubarkan pada tahun 1975 dan undang-undang yang dibekukan pada tahun 1973. Kesedian Emir Bahrain Sheikh Isa membentuk Dewan Syura itu tak lebih merupakan langkah awal bagi pengembalian kehidupan parlemen dan perundang-undangan tersebut.

Kehidupan demokrasi lebih hakiki kemudian baru berembus di Bahrain setelah Sheikh Hamd Bin Isa Bin Salman Al Khalifah memegang kekuasaan pada tahun 1999 menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun itu. Konteks yang sama juga terjadi di Qatar, ketika tuntutan demokrasi diajukan oleh kaum cendekiawan negeri itu pada mantan Emir Qatar Sheikh Khalifah Al Thani. Namun, Sheikh Khalifah malah menangkap sebagian cendekiawan yang menuntut demokrasi tersebut, dan sebagian lagi dicekal bepergian keluar negeri.

Angin demokrasi mulai berembus di Qatar setelah Putra Mahkota Emir Hamd Bin Khalifah Al Thani memegang kekuasaan dengan menggantikan ayahnya pada tahun 1995 melalui aksi kudeta putih. Emir Qatar yang baru, Sheikh Hamd Bin Khalifah membuat undang-undang baru pada bulan Juli tahun 2002 sebagai pengganti dari undang-undang lama yang dikeluarkan pada tahun 1970, yakni sebelum Qatar meraih kemerdekaan dari Inggris.

Undang-undang Qatar itu kemudian diamandemen pada tahun 1972, yakni setahun setelah merdeka pada tahun 1971. Pada awal tahun 1990-an, Arab Saudi juga mulai membuka kran demokrasi ketika Raja Fahd Bin Abdul Aziz membentuk dewan syura.

Dengan kata lain, negara-negara Arab Teluk kini memasuki era baru yang ditandai oleh semakin kuatnya tuntutan akan terjadinya proses reformasi politik yang lebih hakiki terutama pascaperang Irak-AS nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar